Rabu, 23 November 2011

KEUTAMAAN DZIKIR

Dzikir merambah aspek yang luas dalam diri insan. Karena dengan dzikir, seseorang pada hakekatnya sedang berhubungan dengan Allah. Dzikir juga merupakan makanan pokok bagi hati setiap mu'min, yang jika dilupakan maka hati insan akan berubah menjadi kuburan. Dzikir juga diibaratkan seperti bangunan-bangunan suatu negri; yang tanpa dzikir, seolah sebuah negri hancur porak poranda bangunannya. Dzikir juga merupakan senjata bagi musafir untuk menumpas para perompak jalanan. Dzikirpun merupakan alat yang handal untuk memadamkan kobaran api yang membakar dan membumi hanguskan rumah insan. Demikianlah diungkapkan dalam "Tahdzib Madarijis Salikin".
Rasulullah SAW juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati:
عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الذِّي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالذِّي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
"Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)
Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga mengumpamakannya dengan rumah. Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia hidup, dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang mati, atau kuburan.
Seorang mu'min yang senantiasa mengajak orang lain untuk kembali kepada Allah, akan sangat memerlukan porsi dzikrullah yang melebihi daripada porsi seorang muslim biasa. Karena pada hakekatnya, ia ingin kembali menghidupkan hati mereka yang telah mati. Namun bagaimana mungkin ia dapat mengemban amanah tersebut, manakala hatinya sendiri redup remang-remang, atau bahkan juga turut mati dan porak poranda.
URGENSI DZIKIR DALAM KEBERSIHAN HATI SEORANG DA'I
Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur'an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram (13:28)
الذِّيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang."
Ketenangan bukanlah sebuah kata yang tiada makna dan hampa. Namun ketenangan memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup kebahagian di dunia dan di akhirat. Allah SWT ketika memanggil seorang hamba untuk kembali ke haribaan-Nya guna mendapatkan keridhaan-Nya, menggunakan istilah ini:
"Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kamu pada Rabmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu dalam surga-Ku." (Al-Fajr, 27-30)
Ketenagan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang tidak bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan penulis melihat bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya bangunan ketenangan hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati menjadi bersih, sebagaimana dzikir juga dapat menjadikan hati menjadi tenang. Dan ini pulalah letak urgensitas dzikir dalam hati seorang da'i.

Adalah suatu hal yang teramat tabu bagi seorang da'i, meninggalkan dzikir dalam setiap detik yang dilaluinya. Karena dzikir memiliki banyak keistimewaan yang teramat penting guna menjadi bekalan da'wah yang akan mereka lalui. Salah seorang salafuna saleh ada yang mengatakan, "Lisan yang tidak berdzikir adalah seperti mata yang buta, seperti telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh. Hati merupakan pintu besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan Rabnya, selama hamba tersebut tidak menguncinya sendiri." Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara yang sangat indah:
تَفَقَّدُوْا الْحَلاَوَةَ فيِ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءٍ : فِي الصَّلاَةِ، وَفِي الذِّكْرِ وَفِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ... وَإِلاَّ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اْلبَابَ مُغْلَقٌ
"Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat, dalam dzikir dan dalam tilawatul Qur'an, dan kalian akan mendapatkannya... Jika tidak maka ketahuilah, bahwa pintu telah tertutup."
Inilah pentingnya dzikir bagi kebersihan hati seorang da'i. Dengan dzikir, seorang hamba akan mampu menundukkan syaitan, sebagaimana syaitan menundukkan manusia yang lupa dan lalai. Dengan dzikir pulalah, amal shaleh menjadi hidup. Dan tanpa dzikir, amal shaleh seperti jasad yang tidak memiliki ruh. Akankan aktifitas da'wah yang dilakukan da'i menjadi seperti jasad tanpa ruh?
DZIKIR ANTARA HATI DAN LISAN
Dzikir merupakan ibadah hati dan lisan, yang tidak mengenal batasan waktu. Bahkan Allah menyifati ulil albab, adalah mereka-mereka yang senantiasa menyebut Rabnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk bahkan juga berbaring. Oleh karenanya dzikir bukan hanya ibadah yang bersifat lisaniah, namun juga qolbiah. Imam Nawawi menyatakan bahwa yang afdhal adalah dilakukan bersamaan di lisan dan di hati. Sekiranyapun harus salah satunya, maka dzikir hatilah yang lebih afdhal. Meskipun demikian, menghadirkan maknanya dalam hati, memahami maksudnya merupakan suatu hal yang harus diupayakan dalam dzikir. Imam Nawawi menyatakan:
المُرَادُ مِنَ الذِّكْرِ حُضُوْرُ الْقَلْبِ ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ هُوَ مَقْصُوْدُ الذَّاِكرِ فَيَحْرُصُ عَلَى تَحْصِيْلِهِ ، وَيَتَدَبَّرَ مَا يَذْكُرُهُ ، وَيَتَعَقَّلَ مَعْنَاهُ..
"Yang dimaksud dengan dzikir adalah menghadirkan hati. Seyogyanya hal ini menjadi tujuan dzikir, hingga seseorang berusaha merealisasikannya dengan mentadaburi apa yang didzikirkan dan memahmi makna yang dikandungnya.."
Dari sinilah muncul perbedaan pendapat mengenai dzikir dengan suara keras, atau dengan suara pelan. Masing-masing dari kedua pendapat ini memiliki dalil yang kuat. Dan cukuplah untuk menegahi hal ini, firman Allah dalam sebuah ayat:
قُلِ ادْعُوْا اللهَ أَوِ ادْعُوْا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوْا فَلَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً
"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (Al-Isra', 17:110)
Meskipun teks ayat di atas dimaksudkan pada bacaan shalat, namun ada juga riwayat lain yang menunjukkan bahwa dzikir dan doa juga termasuk yang dimaksudkannya juga.
قال ابن جرير: حدثنا يعقوب حدثنا ابن علية عن سلمة بن علقمة عن محمد بن سيرين قال: نبئت أن أبا بكر كان إذا صلى فقرأ خفض صوته وأن عمر كان يرفع صوته فقيل لأبي بكر لم تصنع هذا؟ قال أناجي ربي عز وجل وقد علم حاجتي فقيل أحسنت. وقيل لعمر لم تصنع هذا؟ قال أطرد الشيطان وأوقظ الوسنان قيل أحسنت فلما نزلت "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا" قيل لأبي بكر ارفع شيئا وقيل لعمر اخفض شيئا
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin, "bahwa Abu Bakar senantiasa mengecilkan suaranya dalam shalat, sedangkan Umar mengeraskan suaranya. Hingga suatu ketika Abu Bakar ditanya mengenai pelannya suara, beliau menjawab, "Aku bermunajat kepada Rabku, dan Allah telah mengetahui keperluanku." Sementara Umar menjawab, "Aku mengeraskannya untuk mengusir syaitan dan menghancurkan berhala." Maka tatkala turun ayat ini, dikatakan kepada Abu Bakar agar mengeraskan sedikit suaranya dan kepada Umar agar dikecilkan sedikit suaranya."
وَقَالَ أَشْعَثُ بْنُ سِوَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ وَهَكَذَا رَوَى الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ عَنْ هِشَامٍ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أََبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ
“Asy’ast berkata dari Ikrimah dari ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa. Demikian juga Imam Sufyan al-Tsauri dan Malik meriwyatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa.”
Dan doa merupakan bagian dari dzikir. Kemudian terlepas dari "jahr" dan "sir", yang paling penting adalah bagaimana hati dan lisan tidak pernah kering dari dzikrullah.
KEUTAMAAN HALAQOTU DZIKR

Selain dapat dilakukan secara "sirr" maupun "jahr", dzikir pun dapat dilakukan secara fardi dan jama'i. Rasulullah SAW juga menjelaskan mengenai keutamaan dzikir secara jama'i, yang dilakukan dalam halaqoh-halaqoh dzikir. Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin juga mencantumkan bab khusus tentang keutamaan halaqoh dzikir (Bab ke 247), sebagaimana Imam Muslim juga mencantumkan dalam Shahehnya bab fadhl Majalis Dzikr. Bahkan jika diperhatikan dan ditadaburi, dalam Al-Qur'an pun Allah secara tersirat memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa komitmen dengan halaqoh dzikir:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِّيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بْالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (Al-Kahfi, 18:28)
Adapun dalam hadits, terdapat beberapa riwayat yang mengungkapkan keutamaan majalis dzikr, diantaranya adalah:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ ،قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ"
"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah sekelompok orang duduk dan berdzikir kepada Allah, melainkan mereka akan dikelilingi para malaikat, mendapatkan limpahan rahmat, diberikan ketenangan hati, dan Allah pun akan memuji mereka pada orang yang ada di dekat-Nya." (HR. Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW mengatakan:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ :سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ مِنْ أَهْلِ الْكِرَمِ، فَقِيْلَ مَنْ أَهْلُ الْكِرَمِ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟، قَالَ مَجَالِسُ الذِّكْرِ فِيْ الْمَسَاجِدِ. (رواه أحمد)
"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT berfirman pada hari kiamat, 'orang-orang yang berkumpul akan mengetahui siapakah mereka yang termasuk ahlul karam (orang yang mulia)', seorang sahabat bertanya, siapakah ahlul kiram ya Rasulullah SAW?, beliau menjawab, "majlis-majlis dzikir di masid-masjid." (HR. Ahmad)
Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا وَمَا رِياَضُ الْجَنَّةِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟،قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ، فَإِنَّ لِلَّهِ تَعَالىَ سَيَّارَاتٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حَلَقَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوْا بِهِمْ. (رواه أحمد والترمذي والبيهقي)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian melalui taman-taman surga, maka kelilingilah ia." Sahabat bertanya, "apakah taman-taman surga wahai Rasulullah SAW?", beliau menjawab, "yaitu halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah memiliki pasukan-pasukan dari malaikat, yangmencari halaqoh-halaqoh dzikir, yang apabila mereka menjumpainya, mareka akan mengelilinginya." (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi)
MENTADABURI AYAT-AYAT DZIKIR
Setidaknya terdapat sepuluh gambaran, yang Allah sebutkan dalam Al-Qur'an, dengan kaitannya pada penyebutan dzikir. Kesepuluh hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebagai perintah, sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat AL-Ahzab 41-44:
ياأيها الذين ءامنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا. وسبحوه بكرة وأصيلا. هو الذي يصلي عليكم وملائكته ليخرجكم من الظلمات إلى النور وكان بالمؤمنين رحيما. تحيتهم يوم يلقونه سلام وأعد لهم أجرا كريما
"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mu'min itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: "salam"; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka." (Al-Ahzab, 33:41-44)
2. Larangan melupakan dzikir; sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al'A'raf 204:
(ولا تكن من الغافلين)
"Dan janganlah kamu termasuk golongan mereka-mereka yang melupkan Allah (tidak berdzikir)" (Al-A'raf, 7:204) Kemudian juga dalam surat Al-Hasyr, 59:19 :
(ولا تكون كالذين نسوا الله فأنساهم أنفسهم، أولئك هم الفاسقون)
"Dan janganlah kamu menjadi termasuk orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakan mereka."
3. Mendapatkan pujian dan surga bagi para pendzikir..Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Ahzab, 33:35:
إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."
4. Memiliki kaitan erat dengan kemenangan.Sebagaimanayang Allah firmankan dalam surat al-Anfal, 8:45 :
(واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)
"..Dan berdzikirlah kalaian yang banyak kepada Allah, semoga kalian beruntung."
5. Kerugian orang yang lalai berdzikir. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Munafiqun, 63:9 :
(يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi."
6. Allah menyebut mereka-mereka yang menyebut-Nya. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat al-Baqarah, 2: 152 :
(فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون)
"Maka sebutlah Aku, niscaya Aku akan menyebut kalian, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kufur."
7. Dzikir sebagai suatu hal yang teramat besar. Sebagaimana yang Allah firmankan dalamn surat Al-Ankabut, 29:45:
(ولذكر الله أكبر)
"Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar (dari pada ibadah-ibadah lain)
8. Sebagai khatimah setiap amal shaleh. Sebagaimana yang Allah gambarkan sebagai penutup ibadah shalat, (Al-Jum'ah, 62:10):
فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
9. Hanya orang-orang yang berdzikirlah, yang dapat mengambil faedah ayat-ayat Allah. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Ali Imran, 3: 190-191:
إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب. الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
10. Allah menggandengkan dzikir dengan amalan-amalan shaleh lainnya, seperti dengan jihad. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al-Anfal, 8: 45:
(يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung."
JALAN MENUJU DZIKIR YANG SHAHIH
Tinggallah sekarang memahami bagaimana dzikir yang benar. Dzikir yang benar adalah dzikir yang ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah semata. Bahkan keikhlasan ini juga sampai pada derajat, tidak boleh meninggalkannya karena takut riya'. Karena meninggalkan pekerjaan karena takut riya' adalah riya', sebagaimana dikemukakan Fudhail bin Iyadh:
قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، "تَرْكُ الْعَمَلَ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لأَجْلِ النَّاسِ شِرْكُ، وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيْكَ اللهُ مِنْهُمَا
Fudahil bin Iyadh mengatakan, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya', dan beramal karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas adalah Allah melepaskanmu dari kedua hal di atas.
Selain keikhlasan, tentu saja dibutuhkan kesesuaian dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW. Doa dan dzikir yang ma'tsur lebih utama dari doa yang tidak ma'tsur. Meskipun demikian, segala bentuk dzikir yang memuji Allah, memohon ampunannya atau bentuk-bentuk lainnya adalah dapat dilakukan, kendatipun tidak menggunakan lafal bahasa Arab sekalipun. Hal yang terpenting adalah agar senantiasa berdzikir dalam segala waktu dan kondisi. Di rumah, di masjid, di kendaraan, di jalanan, di tempat kerja, terlebih-lebih di medan da'wah..
Dua hal di atas merupakan hal yang paling pokok dalam melakukan dzikir. Dalam Al-Adzkar, Imam Nawawi menyarankan agar orang yang seyogyanya memperhatikan adab-adab dalam melakukan dzikir. Terutama ketika seseorang sedang berada dalam rumahnya, atau di suatu tempat yang layak. Diantara adab-adab tersebut adalah: hendaknya menghadap kiblat, posisi duduk yang menggambarkan kekhusyu'an dan ketakutan kepada Allah, menundukkan kepala, kemudian tempat yang digunakan untuk berdzikir hendaknya bersih dan sunyi, lebih afdhal juga jika seseorang dalam keadaan suci. Adapun jika berada pada suasana diluar masjid dan rumah, maka paling tidak keikhlasan, dan ketundukkan diri pada Allah SWT.
Dzikir adalah suatu hal yang paling indah dalam kehidupan fana ini. Oleh karenanya, sesungguhnya tidak ada alasan apapun, yang membolehkan seorang muslim meninggalkan dzikir. Justru semakin seorang muslim tenggelam dalam kelezatan dzikir, semakin pula ia rindu dan rindu pada Dzat yang di sebutnya dalam dzikirnya. Dan jika seorang hamba rindu pada Khlaiqnya, maka Sang Khaliq pun akan rindu padanya. Rasulullah SAW mengatakan, "barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allahpun merindukan pertemuan dengan-Nya... Ya Allah, jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang senantiasa Engkau rindukan... Amiiin.

Jumat, 18 November 2011

HUKUM MASUK THARIQOH

Pert: Bagaimana hukum masuk thariqah dan mengamalkannya?
Jwb: Jika yang dikehendaki masuk thariqah itu belajar membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dan menghiasi sifat-sifat yang dipuji maka hukumnya fardlu ‘ain. Hal ini seperti hadits Nabi saw yang artinya : “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi orang islam laki-laki dan orang islam perempuan”. Akan tetapi kalau yang dikehendaki masuk thariqah itu khusus untuk dzikir dan wirid, maka termasuk sunnah Rasulullah saw. Adapun mengamalkan dzikir dan wirid setelah bai’at, maka hukumnya wajib, untuk memenuhi janji.

(Keputusan Muktamar Ke I Jm’iyah Ahli Thoriqah Mu’tabaroh di Tegal Rejo – Magelang. 18 Rabiul Awal 1377 H / 12 Oktober 1957 M)

TATO

Sebuah keindahan keunikan adalah sesuatu yang sangat disukai oleh semua orang tak terkecuali kalangan para orang tua. Lebih-lebih para muda-mudi yang punya adrenalin membuncah-buncah, semangat yang berkobar-kobar dan keinginan yang sering tak terbendung. Fenomena pembuatan tato –yang menjadi topik mubahatsah kita- juga  tidak lepas dari sorotan mereka yang dianggap sebagai tren model anak muda zaman sekarang.
Historisitas tato tidak hanya ditemukan pada kultur bangsa arab masa jahiliyah (pra islam), pada masyarakat dunia pun sejak masa primitif, kebudayaan bertato telah merebak. Pada dasarnya, ada dua alasan utama mengapa orang membuat tato, yaitu untuk menggambarkan keunikan pribadi (menurut persepsi pelaku) atau untuk ciri khas sebuah kabilah sebagai tanda baiat keanggotaan dalam suatu kelompok.
Dalam perkembangannya tato dianggap sebagi life style (gaya hidup). Yang lebih ngeri lagi, di Eropa, tato dianggap sebagai seni lukis tingkat tunggi yang mahal harganya sehingga dijadikan sebagai komodity ekonomi.
Istilah tato dalam bahasa arab adalah  الوشم 'al-Wasymu' yang berarti menusuk anggota badan dengan jarum dalam keadaan tak dipaksa sehingga mengucurkan darah kemudian tempat tusukan ditulis dengan celak, zat warna atau tinta sehingga kulit menjadi hijau atau biru. Apabila alasannya karena untuk hiasan maka hukumnya haram dan wajib untuk dihilangkan (Adab al-Islam : 132). Dan jika penghilangan tato dianggap sangat beresiko pada hilangnya fungsi anggota tubuh, atau memerlukan masyaqah (kesusahan) yang berat, maka cukup dengan bertaubat nashuha (sebenar-benar taubat). Demikian ini definisi cerminan dari tato permanent, sedangkan tato temporer (sementara) dengan menggunakan hinna (cutek) sebagian ulama membolehkannya.
Berbeda kasusnya, bila tato (permanent) tersebut terbentuk dengan sebab keterpaksaan, seumpamanya seorang anak yang dipaksa ditato oleh ibunya, atau karena kecelakaan atau sebab hasil pengobatan yang memunculkan bekas yang sama seperti tato, maka la ba'sa  (tak mengapa).
Keharaman tato berdasarkan pada beberapa ilat/alasan. Pertama, karena merubah kudrat ciptaan Allah. Hal ini dapat kita pastikan dengan menyingkap surat An-Nisa' ayat 119 dengan menggaris bawahi lafadz فليغرن خلق الله   (merubah kudrat ciptaan Allah) dengan ditafsiri diantaranya dalam bentuk perbuatan yang merubah badan dengan tato. (Hasyiyah Showi 'ala Tafsir Jalalain : 1/327)
Dan hadits Nabi Muhammad saw.
لَعَنَ الله الوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقِ اللهِ  
Allah swt melaknat orang-orang pembuat dan yang meminta tato, pencukur dan yang meminta mencukur bulu alis dan yang merenggangkan gigi karena untuk hiasan/lebih mempercantik diri, yang berujung akan merubah ciptaan Allah (Syarah An-Nawawi ‘alal Shahih Muslim : 14/ 106)
Hadits ini memiliki tingkat keshahihan yang sangat terpercaya dengan ditemukannya empat sahabat sebagai perawinya. Yaitu Ibnu 'Umar, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud. Imam Adz-Dzahabi dalam al Kaba-ir mengungkapkan bahwa la'nat Allah akan turun hanya atas perkara yang diharamkan-Nya. Jadi jelas tato itu hukumnya haram.
Kedua, menyakiti badan dengan tanpa hajat atau dlarurat yang tidak memberi faidah adalah haram (la yahillu) menurut Imam Ibnu Jauzy.
Di samping itu, dampak-dampak negatif yang diakibatkan oleh tato begitu banyak dan berbahaya. Menurut pakar dermatologi (ahli kulit), Jonette Keri, MD, PhD., Resiko yang paling serius adalah infeksi yang bersifat mengancam kehidupan seperti HIV atau hepatitis C. Infeksi ini berasal dari jarum yang tidak bersih. Selain itu, bisa juga menimbulkan infeksi yang memicu penyakit kulit.
Selain infeksi, tato juga bisa menimbulkan alergi akibat pigmen (zat warna) yang digunakan, khususnya pigmen hitam yang asalnya digunakan untuk bahan aspal. Di samping itu, bisa juga menimbulkan reaksi peradangan dan luka pada jaringan, sebagai reaksi terhadap pewarna atau komponen besi yang dimasukkan ke dalam kulit. Kadang-kadang juga bisa menyebabkan dermatitis (peradangan kulit disertai gatal)
Ketiga, kulit badan yang ditato itu mutanajis dengan sebab bergumpalnya darah pada anggota badan yang ditato, menurut ulama As-Syafi'iyah. Sehingga shalatnya tidak sah dan wajib untuk dihilangkan karena menanggung najis dalam keadaan shalat. Dan lagi, menurut ba'dlul ulama, tato bisa menghalangi sampainya air pada kulit sehingga wudlunya tak sah yang berbuntut tidak sahnya shalat. Untuk menanggulangi hal demikian beberapa ulama mensolusikan pada anggota yang ditato agar diganti dengan tayammum.
Keempat, terdapat unsur tasyabbuh, penyerupaan dengan orang-rang kafir masa jahiliyah dengan sesuatu yang menjadi ciri khasnya (dengan bertato). Hal ini dengan dinisbatkan pada hadits Rasulullah saw "Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum". 'Seseorang yang berkelakuan mirip dengan sebuah kaum, maka ia termasuk darinya'.  (Ihya Ulumudin : 2 / 270)
Dewasa ini, banyak kalangan public figure bahkan merambah pada masyarakat kita yang mengatasnamakan keindahan zaman modernis sebagai dasar pijakan mereka dalam melakukan sesuatu (membuat tatto). Ironisnya, mereka mengatakan hal itu sebagai SENI, dan dasar pijakan mereka itu tidak jarang menabrak rambu-rambu syariat agama yang sering mereka sepelekan karena hawa nafsu yang telah membutakan mata hatinya. Akankah kita jatuh terjerumus pada keindahan semu, yang menghantarkan pada lembah nista hanya karena urusan tato ?  Na’udzu bil-Lah min dzalik

Kamis, 17 November 2011

NU dan MUI Jatim Seriusi Wacana Penutupan Dolly

NU dan MUI Jatim Seriusi Wacana Penutupan Dolly Surabaya, NU Online
Wacana penutupan lokalisasi Dolly kembali dilontarkan. Kali ini, wacana penutupan tengah diseriusi parpol dan ormas Islam. Namun, sebelum menutup lokalisasi terbesar se Asia Tenggara ini, masih dicarikan solusi terbaik berkaitan dengan penanganan masalah yang akan muncul pasca penutupan.

Pertemuan pembahasan penutupan Dolly ini dihadiri PWNU Jatim, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. Perwakilan dari MUI Jatim, KH Abdurahman Navis yang juga mengaku jika pertemuan yang digelar di RM Agis ini untuk mencari solusi yang terbaik agar tidak menimbulkan masalah lagi setelah ditutup.

"Kami paham, banyak masalah soial ekonomi yang berhubungan dengan prostitusi Dolly. Tidak melulu masalah agama. Karenanya kami mengundang berbagai elemen masyarakat, khususnya ulama dan pemerintah untuk duduk bersama," jelas Abdurrahman, Kamis (17/11).

Bahkan, MUI akan juga mengundang mantan Gubernur DKI Sutiyoso untuk berbagai pengalamannya waktu dulu yang sukses menutup lokalisasi Kramat Tunggak dan sekarang dijadikan Islamic Centre.

Sementara itu, NU juga mendukung wacana penutupan serta mencari solusi untuk lokalisasi Dolly. Perwakilan dari PWNU Jatim, KH Abdul Matin dari PWNU juga mengaku sangat mendukung rencana penutupan Dolly. Dan beliau percaya penutupan tempat maksiyat ini akan membawa dampak baik bgi Indonesia, khususnya warga Jawa Timur.
Menurutnya, jika ada kemaksiyatan dibiarkan merajalela di suatu wilayah, akan mengundang kemudlaratan yang lebih besar.
"NU sepenuh hati mendukung rencana ini. Tapi tentu saja harus dicarikan penyelesaian yang baik buat masyarakat yang hidup dari dunia haram ini. Untuk para pelakunya, yakni para WTS, juga mesti dibekali dengan ketrampilan tertentu agar bisa tetap hidup layak setelah lepas dari jerat prostitusi," pungkasnya.

Berjuang untuk Berhaji


  Berjuang untuk Berhaji Judul Buku : Wong Cilik Merindukan Haji: Kisah Menyentuh Perjuangan Orang Biasa Mewujudkan Mimpi Bersimpuh di Baitullah
Penulis: H. Ruchani Achmad
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan I: 2011
Tebal: 146 halaman
Peresensi: Abdul Halim Fathani*   

Ibadah haji merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki makna multi aspek, ritual, individual, politik psikologis dan sosial. Dikatakan aspek ritual karena haji termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan setiap muslim bagi yang mampu (istitho'a), pelaksanaannya diatur secara jelas dalam al-Qur’an. Haji sebagai ibadah individual, karena keberhasilan haji sangat ditentukan oleh kualitas pribadi tiap-tiap umat Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan ibadah haji.

Haji juga merupakan ibadah politik, sebab mulai dari persiapan sampai pelaksanaanya, peran dan partisipasi pemerintah (Departemen Agama) sangatlah dibutuhkan. Aspek psikologis ibadah haji berarti setiap individu jamaah harus memiliki kesiapan mental yang kuat dalam menghadapi perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah yang tentunya berbeda dengan situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya dari ibadah haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jamaah haji memiliki pengetahuan, pemahaman dan mampu serta mau mengaplikasikan pesan-pesan simbolik ajaran yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.

Syarat dan rukun ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan transendental (habl min-Allah) tetapi justru yang paling penting adalah dapat mengambil makna di balik simbolisasi ritualitas haji untuk membentuk kepribadian atau moralitas pergaulan antar sesama manusia. (habl min al-Naas) Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para jamaah haji khususnya.

Dewasa ini, haji telah dijadikan sebagai salah satu ukuran atau parameter untuk melihat status sosial seseorang. Hal ini disebabkan orang yang berhaji dianggap sebagai orang Islam yang shaleh, karena telah menyempurnakan agamanya (baca: rukun Islam), dan secara ekonomi termasuk orang yang kaya atau lebih dari cukup (baca: cukup dari segi materi). Alasan itulah yang digunakan masyarakat kita pada umumnya untuk menilai orang yang dapat melakukan ibadah haji. Sehingga orang yang telah mampu melaksakannya dinilai sebagai orang yang telah “sempurna” agamanya. Ibarat makanan 4 sehat 5 sempurna, dikatakan belum lengkap jika belum memenuhi aspek yang ke-5, yaitu minum susu. Demikian juga rukun Islam dikatakan belum sempurna jika belum menunaikan ibadah haji. Haji berfungsi sebagai pelengkap (komplementer) dari rukun islam yang lain.

Merupakan suatu keharusan bagi individu umat Islam yang memenuhi panggilan Allah ke tanah suci Makkah-Madinah, untuk merenungkan esensi dan substansi haji di tengah simbolitas dan formalitas syarat-rukunnya. Diharapkan, dengan refleksi mendalam makna di balik itu, jamaah haji menemukan energi transformasi internal menuju terbentuknya kesalehan ritual dan sosial yang menjadi barometer kebahagiaan dunia akhirat.

Sampai sekarang, mayoritas umat ini masih terjebak dalam simbolitas syarat-rukun, tanpa mampu mengungkap makna substansial di balik itu. Maka, pasca haji tidak ada transformasi internal dalam kehidupannya. Kebanyakan orang lebih memaknai ibadah haji sebagai ibadah yang hanya penuh dengan ritual simbolik-transedental saja. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai oleh-oleh “khas” haji (cerita unik atau pengalaman religius) yang beraneka warna. Padahal, jika kita berfikir dan merenungkan, ibadah haji juga banyak mengandung makna sosial. Hal ini didasarkan pada substansi Islam sebagai agama rohmatan lil'alamiin.

Kesalehan ritual dan sosial adalah ibarat dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Kesalehan ritual mampu membuat orang menjadi shaleh sosial dan shaleh sosial muncul karena intensitasnya melakukan ritual. Tidak ada aspek ritual-transendental yang lepas dari orientasi sosial.  Kesalehan ritual dan sosial harus selalui terintegrasi di manapun dan kapan pun. Dalam bahasa agamanya adalah menyinergikan antara habl minallah dan habl minannaas.

Membaca ulasan penulis dalam buku ini sungguh mengharukan. Buku ini merupakan catatan perjalanan yang ditulis Ruchani Achmad sebagai “kenang-kenangan.” Secara gamblang penulis menceritakan bagaimana kehidupannya ketika sebelum berangkat haji, kemudian keadaan ketika berniat untuk berangkat haji dan pelbagai ikhtiar yang dilakukan yang akhirnya dapat berhasil untuk berangkat ke tanah suci Makkah. Selanjutnya, penulis menceritakan pengalamannya selama berada di Mekkah dan berbagai aktivitas ritual yang dilakoninya.

Melalui buku ini, kita dapat merenungkan dengan “nilai-nilai” ibadah haji sebagaimana yang telah diurai di atas. Dalam buku ini, penulis juga membagi beberapa doa yang dibacanya dalam rangka mewujudkan niatnya berangkat haji, sekaligus doa-doa yang dibaca ketika melakukan ibadah haji. Tentu tidak ada ruginya, bagi pembaca untuk meluangkan waku sejenak demi membaca buku “mengharukan” ini. Semoga kita dapat mengambil hikmah terbaik dari buku ini. Marilah kita mengikuti jejak Ruchani Achmad. Amin

Ide Pembaharuan Islam Tokoh-tokoh Kontemporer

Ide Pembaharuan Islam Tokoh-tokoh Kontemporer Judul: Menafsirkan Tradisi dan Modernitas: Ide-ide Pembaharuan Islam
Penulis    : Wasid, dkk.
Penerbit: Pustaka Idea, Surabaya
Cetakan: I, Juli 2011
Tebal: 369 halaman
ISBN: 978-602-99387-1-5
Harga: Rp. 59.000
Peresensi: Abd. Basid

Ada banyak ragam seseorang dalam membaca realitas keagamaan dalam tiap fasenya. Ada yang berpegang teguh pada kekuasaan teks dan sebaliknya ada yang mengabaikannya. Penganut tipe yang pertama ini biasa disebut dengan kaum fundamentalis sedangkan yang kedua disebut kaum rasionalis.

Kaum fundamentalis berkeyakinan bahwa dalam membaca dan memaknai sebuah realitas harus dikembalikan pada teks murni. Mereka mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Karenanya faham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain, bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Ciri mereka yang menganut faham ini di antaranya suka menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan madzhab (aliran), keras, tunduk kepada turats (tradisi), kembali ke belakang, dan menentang pertumbuhan dan perkembangan.

Kebalikan dari fundamentalis adalah rasionalis. Kaum rasionalis beranggapan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Bagi mereka, sudah bukan saatnya kita “menuhankan” tradisi. Semuanya harus berubah. Zaman modern menuntut kita untuk berpikir logis dan empiris. Karenanya, bagi mereka, isu-isu problematika yang semakin pelik di berbagai sektor ini harus dibaca dengan logika. Ciri aliran ini adalah penolakannya terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat, atau kepercayaan yang sedang populer.

Dua aliran yang saling bertentangan di atas, cukup kuat jika dikatakan laksana Tom and Jarry yang tak pernah damai. Keduanya sama-sama perpegang teguh pada prinsipnya. Yang pertama anti modernis dan yang kedua anti turats (tradisi).

Selanjutnya, bagaimana kita sebagai insan yang sudah menerima dan mendapatkan hasil olah keduanya? Buku “Menafsirkan Tradisi dan Modernitas: Ide-ide Pembaruan Islam”, saya kira bisa menjadi jawaban dari problematika di atas. Buku ini mencoba membaca turats dan modernitas dengan analisa para tokoh kontemporer Islam yang ide-idenya dilandaskan pada pembaharuan Islam.

Sebut saja seperti Muhammad Syahrur, Thoha Husain, dan Asghar Ali Engineer. Muhammad Syahrur dengan teori limit-nya merespon keadaan zaman yang pelik ini (hal. 17-21). Baginya, dunia hukum Islam tidaklah terkungkung bak tahanan dalam perjara. Hukum Islam itu bebas bergerak selama dalam batas-batas yang ditentukan. Batasan itu adalah Nabi Muhammad, di mana ia merupakan inspirasi awal untuk melakukan sesuatu. Nabi Muhammad adalah penafsir pertama atas kondisi sosial dunia ini.

Thoha Husain dengan modal rasionalisme, tradisi ilmiah, dan kesejarahan menyikapi turast dan modernitas dengan arif. Baginya, turats tidak harus ditolak dan begitu juga modernitas. Dengan pemaduan turats dan modernitas, Thoha Husain mencoba membaca ulang turats agar lebih bermakna bagi kemanusiaan terkini (hal. 115-122).

Asghar Ali Engineer dengan teori teologi pembebasannya membaca keterbelakangan Islam dari Barat. Ia menggugat teologi klasik yang hanya berkutat pada pembebasan Tuhan dan menghadirkan teologi kepasrahan. Baginya, keterbelakangan dan ketertindasan umat Islam dikarenakan teologi yang tidak membebaskan. Untuk itu, ia menawarkan teologi pembabasan (hal. 336-338), di mana teologi itu tidak hanya untuk “membela” Tuhan, akan tetapi juga untuk “membela” manusia. Untuk hal ini, Asghar Ali Engineer meneliti turats untuk dicari nuansa pembebasannya dan mendialogkan dengan realitas kekinian.

Buku yang ditulis keroyokan oleh para pemikir dan intelektual strata tiga Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya ini layak untuk dibaca para akademisi dan intelektual keislaman secara umum. Topik buku ini, yang sampai mereka bawa ke dalam forum diskusi—yang mereka istilahkan Forum “20”—sebelum terbit semakin menambah nilai ketajaman analisis masing-masing penulisnya.

Sebagai catatan akhir, ada dua catatan saya perihal buku ini, yaitu pertama, mengingat buku ini merupakan kajian tokoh, seringkali ditemukan judul tulisan kurang mewakili isi tulisan. Lihat saja, seperti pada tulisan yang berjudul “Membendung Otoritarianisme, Mengusung Hermeneutika Negosiatif” (hal. 67). Tulisan dengan judul tersebut berisi kajian terhadap pemikiran tokoh Khaled Abou El-Fadl, namun judul itu kurang memberi informasi bahwa di dalamnya berisi pemikiran tokoh Khaled Abou El-Fadl. Bagi para pembaca yang sudah berkecipung lama dengan dunia pemikiran tokoh kontemporer, mungkin tidak asing bahwa teori Hermeutika Negosiatif adalah teori interpretasi Khaled Abou El-Fadl, namun belum tentu bagi pembaca yang baru (baca: pemula) berkecipung dalam dunia pemikiran kontemporer? Hal serupa juga bisa ditemukan pada halaman-halaman lain seperti halaman 23 (tentang pemikiran Hassan Hanafi), 43 (tentang pemikiran Muhammad Syahrur), 109 (tentagn pemikiran Thaha Husain), 123 (tentang pemikiran Sayyed Hussein Nasr), 219 (tentang pemikiran Baihaqi AK) dan 253 (tentang pemikiran Fatima Mernessi).

Kedua, buku ini terkesan buku foto copy-an, bukan cetakan asli, melihat lay out pinggirnya yang mepet dengan tepi buku sehingga seakan-akan terpotong karena mau dijilid dan ditambah lagi kertasnya yang buram.

URGENSI TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN

URGENSI TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN

Islam adalah agama yang didirikan diatas tiga pilar utama, yaitu: Islam jika memandang pada amal perbuatan, iman jika memandang pada aqidah yang mengerakkan, dan Ihsan jika memandang pada kesempurnaan realisasi dan tujuan dari perpaduan iman dan amal perbuatan. Ketida pilar ini dalam terminologinya bisa jadi mengalami perubahan, termasuk yang paling terkenal yaitu terminology fiqh, Tauhied dan Tasawuf. Akan tetapi sepanjang sejarahnya umat Islam senantiasa berusaha menerapkan ketiga pilar tersebut. Generasi awal Islam adalah mereka yang menyatukan antara keluasan ilmu pengetahuan dan kedekatan diri dengan Allah SWT. Kemudian dari mereka, lahirlah generasi-generasi yang mempunyai kecintaan hati kepada Allah sekaligus ilmu yang dapat menerangi jalan mereka menuju Allah. Mereka adalah ilmuwan (Ulama/Alim) sekaligus pendidik (Murabbun/murabby) dalam waktu yang bersamaan. 
Dari sana, terjadi perkembangan yang besar dalam ilmu-ilmu keislaman secara umum, dimulai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan diantaranya dalam bentuk madrasah-madrasah, pesantren-pesantren dan universitas-universitas yang memperhatikan ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi, sekarang lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengalami kemunduran karena mengesampingkan pilar Ihsan atau yang disebut sebagai tasawwuf. Penyebabnya adalah pemisahan antara pengajaran praktis dengan (fungsi) guru dan pendidik, yaitu dengan semakin sulitnya ditemukan guru pendidik sekaligus bisa menjadi teladan moral sebagaimana ulama salaf dahulu.
Makna Tasawwuf
Tasawwuf mempunyai dua makna: makna pertama lebih ditekankan pada usaha mensucikan jiwa, dan bersunggu-sungguh dalam mematuhi Allah dan meneladani Rasulallah SAW. hingga jiwa  menjadi bersih dan memantulkan haqiqat dan rahasia ketuhanan. Inilah yang disebut sebagai Ilmu Muamalah dalam menempuh jalan kepada Allah, yaitu dengan memperbaiki dan membingbing hati, memurnikannya untuk Allah dari selain Allah. Tasawuf, dalam makna ini, harus bersumber dari sumber yang suci dan berpijak pada kaidah syariah yang benar. Sebagaimana yang disebutkan oleh seorang tokoh besar Sufi Syekh al Junaid: "Ilmu kita ini terikat dengan Kitab dan Sunnah…."    
Makna kedua adalah dzauq dan perasaan hati, atau hasil-hasil kasyaf yang dialami dan dirasakan oleh para salik (penempuh jalan Allah). Makna yang kedua ini adalah husus untuk para pelakunya, tidak bisa diungkapkan atau ditulis atau diisyaratkan, tidak pula dapat dijadikan sebagai hukum syari'at atau argumentasi hukum, juga tidak mungkin dikatakan dalam ungkapan dan bahasa apapun, karena merupakan perasaan hati yang tidak mungkin dapat diuraikan dengan kata-kata. Pada makna yang kedua ini, sebagian guru sufi mengisyaratkan: "perngetahuan kita tentang ini hanyalah isyarat." Inilah yang disebut dengan Ilmu Mukasyafah, yaitu cahaya yang terpancar dari hati dalam pencapaian pada penyatuan dengan Tuhan Semesta Alam. Bagi seseorang, hendaknya menjalankan tasawuf dengan makna yang pertama, sehingga dapat diraih rahasia makna yang kedua.  
Kenapa harus Tasawuf
Islam adalah agama yang menjungjung tinggi peranan akal dan membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran baru, serta mendorong intraksi praksis maupun teoritis terhadap fenomena alam.  Pada saat yang sama, islam juga menekankan pada keterjagaan hati dan ketulusan rasa dan menjadikan iman sebagai ruh penggerak bagi hati yang dinaungi cinta dan kebaikan sekaligus ditandai dengan kebenaran. Islam bukanlah teori-teori praksis dan ekonomis belaka yang terlepas dari bimbingan ketuhanan. Ia adalah sikap hati yang terbuka lapang, dimana cahaya cinta bersinar dari seluruh dingding-dingdingnya. Hati yang sangat terikat dengan Tuhan yang menciptakannya, senantiasa mencari jejak Sang Pencipta di alam raya ini.
Sebenarnya tidak ada pemisahan antara pemikiran yang tercerahkan dan sikap hati yang terpuji. Validitas pemikiran seyogyanya berjalan seiring dengan validitas tindakan dan sikap. Akan tetapi dalam prakteknya konsep yang sudah menjadi aksioma ini sering terkendala. Tasawuf adalah solusinya. Karena Tasawuf menjawab secara tuntas pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana kita menumbuhkan rasa akan keagungan Allah dan sikap khusuk terhadap-Nya? Bagamana kita dapat menghayati keimanan kita sehingga tidak hanya mengambang di permukaan akan tetapi menjadi landasan bertindak dan bersikap? Bagamana mentranformasikan ma’rifat akan Allah untuk mendorong tumbuhnya karakter dan sikap terpuji? Bagaimana seseorang bisa mencintai Allah sehingga secara naluriah akan senantiasa mematuhi dan mencari keridhaan-Nya?  Menjadikan kecintaannya kepada Allah sebagai penggerak yang secara otomatis menjauhkan dirinya dari perbuatan maksiat dan durhaka? Dan bagaimana agar seseorang dapat memandang penampakan-penampaka Allah dalam semua ciptaanNya, menyaksikan nama-nama Allah yang baik dalam setiap diam dan gerakan kapan dan dimanapun saja?    
Bagaimana Bertasawuf
Tasawuf adalah program pendidikan yang focus pada penyucian jiwa dari segala penyakit yang menghalangi manusia dari Allah SWT. sekaligus meluruskan penyimpangan-penyimpangan kejiwaan dan tindakan dalam masalah yang berkaitan dengan hubungan seorang hamaba denga Tuhannya, dengan dirinya dan dengan orang lain.  Ia adalah metode pendidikan ruhani dan praksis untuk mengangkat seseorang ke tingkat ihsan yang dijelaskan oleh Nabi SAW. sebagai; “hendaknya kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalau kamu tidak melihat-Nya maka Allah sesungguhnya melihat dirimu.”
Oleh karena itu, orang yang hendak mempelajari tasawuf harus mengambil ilmu ini dari sumbernya yang dipercaya. Dibawah bimbingan seorang guru, menghirup apa yang sang guru hirup, dan melalui tahapan-tahapan yang sang Guru lalui.  Syekh Ata’illah al Iskandari berkata: “Orang yang hendak mencari tahu, dan menempuh jalan petunjuk, seyogyanya mencari guru dari kalangan ahli dalam bidang ini, yang telah menempuh jalan petunjuk, dan senatiasa meninggalkan hawa nafsunya, serta mempunyai pijakan yang kuat dalam menghambakan diri kepada Tuhannya. Kalau ketemu, maka hendaklah mematuhi apa yang sang guru perintahkan dan menghindari dari apa yang sang guru larang.”   

BIOGRAFI KH.Mahrus Aly

KH.Mahrus Aly

KH. Mahrus Aly lahir di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH Aly bin Abdul Aziz dan Hasinah binti Kyai Sa’id, tahun 1906 M. Beliau adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak tinggal di tanah kelahiran. Sifat kepemimpinan beliau sudah nampak saat masih kecil. Sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarga. Beliau diasah oleh ayah sendiri, KH Aly dan sang kakak Kandung, Kyai Afifi. Saat berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah, asuhan Kyai Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni. Selain itu KH. Mahrus Aly juga belajar silat pada Kyai Balya, ulama jawara pencak silat asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal inilah KH. Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M.
Di tahun 1929 M, KH. Mahrus Aly melanjutkan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah asuhan KH. Kholil. Setelah 5 tahun menuntut ilmu di pesantren ini (sekitar tahun 1936 M) KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni KH. Mahrus Aly berniat tabaruqan di Pesantren Lirboyo. Namun beliau malah diangkat menjadi Pengurus Pondok dan ikut membantu mengajar. Selama nyantri di Lirboyo, beliau dikenal sebagai santri yang tak pernah letih mengaji. Jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk tabarukan dan mengaji di Pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren Watu congol, Muntilan, Magelang, asuhan Kyai Dalhar dan juga pondok pesantren di daerah lainnya seperti; Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Sarang dan Lasem, Rembang.
KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Namun karena alimnya kemudian KH. Abdul Karim menjodohkan dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab, tahun 1938 M. Pada tahun 1944 M, KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman di sebelah timur Komplek Pondok. Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan meneruskan tambuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Di bawah kepemimpinan mereka berdua, kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo. Santri berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti).
KH. Mahrus Aly ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan ini nampak saat pengiriman 97 santri pilihan Pondok Pesantren Lirboyo, guna menumpas sekutu di Surabaya, peristiwa itu belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di sekitar Kediri.
KH. Mahrus Aly mempunyai andil besar dalam perkembangan Jamiyyah Nahdlatul Ulama, bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah Jawa trimur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU pada tahun 1985 M.
Senin, 04 Maret 1985 M, sang istri tercinta, Nyai Hj. Zaenab berpulang ke Rahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama diderita. Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam kedukaan. Banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya. Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 mei 1985 M, kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo, Surabaya. Delapan hari setelah dirawat di Surabaya dan tepatnya pada Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985 M, KH. Mahrus Aly berpulang Ke Rahmatullah. Beliau wafat diusia 78 tahun. (al Fatihah)

ZIARAH KUBUR

Angker, ngeri, seram dan tempat yang memberdrikan bulu kuduk, mungkin inilah persepsi keumuman orang saat indra pendengar  mereka mendengar kata kuburan. Paradigma seperti ini masih banyak ditemukan di daerah sekitar kita yang masih menganggap adanya sebuah kekuatan magis yang berasal dari orang yang sudah mati. Namun sebuah note –catatan- penting, apapun bentuk tuangan imaginasi masyarakat dalam setiap aktivitasnya mengenai kuburan, adalah sebuah bukti bahwa betapapun hebatnya orang kaya baik kaya harta atau ilmu, betapapun kuatnya seseorang digjaya kekuasaan atau jabatan, dan betapun dominannya  seorang Ulama dan public figure  atau betapun dominannya  keangkuhan  orang sombong, kuburanlah tempat akhir mereka sejak awal meniti kehidupan dunia sampai ajal menjemputnya.
Topik ziarah qubur ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari bab sebelumnya yang membahas tentang penghadiahan pahala bacaan pada orang meninggal. Namun sekalipun masalah ziarah qubur ini dirasa sering dibicarakan karena berkaitan dengan persoalan Ihda-u Tsawabil Qiraah, Tawassul, Tahlil dan lainnya, pada kesempatan kali ini Tim Redaksi mencoba untuk membahas Ziarah qubur secara lebih spesifik.
Agenda tinjauan kajian ini kami ramu menjadi 4 klasifikasi yang merekrut pada Definisi (Ta’rif), Legitimasi (al-Hukmu), Prosedur Aplikasi (Al-Adab wal Kaifiyah) dan Saripati Inspirasi (Al-Hikmah).
A. Definisi (Ta’rif)
Qubur   (قبور)  dalam bahasa ámiyah Indonesia ; kubur- adalah bentuk jama’ dari lafadz Qabrun( قَبْرٌ)   yang artinya kuburan atau makam. Yang berasal dari fiíl madli Qabara. Lalu jika kita sambung dengan kalimat ziarah maka berarti mengunjungi atau mendatangi tempat orang yang meninggal (pemakaman).
Dengan berbagai reason atau alasan yang melatarbelakangi kedatangan mereka ke kuburan, nanti kita akan jumpai jawaban dari pertanyaan Apa perlunya seseorang mendatangi tempat orang meninggal, toh di sana pemandangannya cuma batu nisan dan tanah yang ditimbun, buang-buang waktu saja ?
B. Legitimasi (al-Hukmu)
Hukum ziarah kubur adalah sunnah yang dapat kita pastikan kebenarannya dalam Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi  :
عن بريدة ابن الحصيب الإسلامى رضي الله عنه قال : قال رسول الله : كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها . رواه مسلم  (بلوغ المرام :۱٠۳)
Rasulullah bersabda : “Dulu aku melarang ziarah qubur tapi sekarang berziarahlah” (Bulughul Maram : 103).
Hukum yang pertama kali saat ziarah ada, ialah dilarang yang ditunjukkan dengan kalimat “Kuntu nahaitukum ‘an ziaratil qubur” karena kekhawatiran terhadap keyakinan orang arab pada masa saat itu, yang masih kental dengan kepercayaan animisme dari patung-patung berhala yang dianggap sebagai tuhan. Akan tetapi setelah melihat kepercayaan para sahabat telah kuat bahwa kuburan bukanlah tuhan, maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk berziarah “Fazuruha
            Di satu sisi yang sama Qaidah ushul mengemukakan “Al-Amu ba’dan Nahyi mandub” . Suatu perkara yang berasal dari tidak boleh lalu berubah menjadi diperintah maka sesuatu tersebut berstatus mandub (Sunnah). Artinya yang semula ziarah qubur itu dilarang, lantas sekarang menjadi diperintahkan maka ziarah kubur ini menjadi sunnah hukumnya.
            Seandainya dikatakan : Apabila unsur dari “Kuntu nahaitukum”  (alasan dilarangnya ziarah kubur) muncul kembali, seperti diduga adanya keyakinan bahwa  kuburan itu disembah-sembah dan dipuja-puja layaknya tuhan, apakah tidak lebih baik jika kita larang saja ziarah kubur itu ?
            Untuk merespon pertanyaan ini mari kita analogikan pada contoh simple ini : Kalau sebuah gudang beras ditemukan tikus-tikus berkeliaran, maka apakah kita akan membakar gudangnya demi memberantas tikus-tikus? . Tentu tidak. Seandainya terjadi kasus demikian –keyakinan menuhankan kuburan- maka yang harus kita brantas adalah keyakinan tersebut tentunya dengan yang ma’ruf dan tak melanggar syariat, tidak dengan melarang ziarah kubur yang sudah jelas-jelas kesunahnnya dalam hadits Rasulullah Saw.
            C. Prosedur Aplikasi (Al-Adab wal Kaifiyah)    
            Sopan-santun dan tata krama seorang peziah kubur hendaknya mengikuti prosedur di bawah ini :
Pertama, Dalam keadaan suci atau berwudlu
Kedua,  Uluk salam kepada ahli kubur. Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya Radliyallahu ‘anhuma berkata : Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita saat berziarah kubur untuk membaca salam : السلام عليكم اهل الديار من المؤمنين والمؤمنات وانا ان شاءالله بكم لاحقون نسئل الله لنا ونكم العافية
   (HR. Muslim)                                        
Do'a ini dibaca untuk para ahli kubur secara umum.
Ketiga, Mendekati kuburan dan mengucapkan salam untuk orang yang tertentu seperti ayah, ibu dll,  kita bisa mengucapkan السلام عليك يا والدى ووالدتى  (I'anah Thalibin : 143)
Keempat, Membaca Al-Qur'an dan mendoakannya dalam keadaan menghadap kiblat. Sekalipun masih ditemukan tafshil tapi kami temukan dalil-dalil yang memperbolehkan mendoakan dan membacakan ayat-ayat Alqur'an saat ziarah kubur
1. Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za'farani, berkata : Aku pernah berkata pada Imam Syafi'i  tentang bacaan qur'an di kuburan. Ia menjawab : Boleh (diriwayatkan oleh Ibnu Qayim dari Imam Syafi'i, disebutkan oleh Jalaludin As-Suyuthi dalam syarah Shudur : 134)
2. Dalam kitab Tahqiequl 'amal fi ma yanfa'u lil mayit minal a'mal menerangkan bahwa :
* Imam Syamsudin bin Muflih Al-Magdisi berkata dalam kitb Al-Furu' : membaca Qur'an di kuburan tidak dihukumi makruh.
* Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia telah berwasiat jika ia dikubur hendaknya dibacakan permulaan dan penutup surat Al-Baqarah di kuburnya. (Al-Furu' Ibnu Muflih II/304).
Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal mencabut pendapat yang memakruhkannya yang dilansir dalam kitab Mukhtashor Tadzkirah Al-Qurthubi : 25. Beliau berkata : "Ketika kalian mendatangi/menziarahi qubur  maka bacalah surat Al-Fatihah, Mu'awwidztain, surat Al-Ikhlash dan hadiahkanlah ganjarannya untuk ahli qubur karena sesungguhnya itu sampai kepada mereka".
D. Saripati Inspirasi (Al-Hikmah)
Setelah berlalu lalang dengan Ta'rif, Al-Hukmu, dan Adab wal kaifiyah, kini tiba saatnya kita bahas hikmah dari ziarah kubur yang akan menjawab pertanyaan yang terdapat pada tema Ta'rif di atas. 
Pertama, ziarah kubur dilakukan untuk mendoakan orang mati. Sebagaimana yang telah kita ketahui dari hadits :
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال سمعت رسول الله يقول : ان القبر اول منازل الأخرة فإن نجا منه صاحبه فما بعده ايسر منه وان لم ينج منه فما بعده أشد
Dari sahabat 'Utsman bin 'Affan, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya quburan adalah stasiun akhirat yang pertama,  barangsiapa yang penghuninya selamat maka jalan setelahnya akan lebih mudah baginya dan apabila tidak selamat maka maka jalan setelahnya itu akan lebih sulit
قال رسول الله : مَا الْمَيِّتُ فِى قَبْرِهِ اِلاَّكَالْغَرِيْقِ الْمُغَوِّثِ ينتظر دعوة تلحقه من ابيه او اخيه اوصديق له فأذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها وان هدي الأحياء للأموات الدعاء والإستغفار   ( شرح عقيدة الطحاوية  :٤٥٧  )
 “Orang mati dalam kuburnya  laksana  seorang yang tenggelam yang yang meminta  pertolongan menunggu do'a dari ayah, saudara, dan temannya yang bermanfaat baginya. Jika  ia mendapati doa itu, maka hal ini lebih ia senangi dari pada dunia dan seisinya begitu juga jika orang-orang yang masih hidup mengirimkan doa dan permintaan ampunan terhadap orang-orang yang telah mati”. (Syarah Aqidah Thohawiyah : 457)
            Kedua, Untuk mengambil 'Ibrah (pelajaran). Untuk hikmah yang kedua ini bias saja kita berziarah pada kuburan orang Cina dengan dalih untuk mengambil pelajaran bahwa betapa kaya, hebat, dan diktatornya seseorang, tentu  sekujur tubuhnya tak berdaya apa-apa saat batu nisan dan tanah menindihnya dalam liang lahat dan dia termasuk kita disana akan menunggu balasan akan apa yang telah dikerjakan semasa hidup di dunia.
قال ابن ابي مليكة قال رسول الله : زوروا موتاكم وسلموا عليهم فإن لكم فيه عبرة   
Berziarahlah  pada orang-orang matimu dan beri salamlah, karena disitu mengandung pelajaran yang berharga bagimu.
            Ketiga, Tawassul. Dengan mengambil intisari dari Surat Ali 'Imran ayat 169 " Wala tahsabnnal ladzina qutilu fi sabilillahi amwata bal ahya-un inda rabihim yurzaquna "
Janganlah kalian sangka orang yang yang mati di jalan Allah mati melainkan mereka hidup di sisi tuhannya juga diberi rizqi serta bahagia.
Memandang diri ini adalah orang yang tak pantas dan tak punya kedudukan apa-apa 'indal-Lah, maka diperlukan perantara yang dapat menghubungkannya dengan Allah.

BIOGRAFI KH. Marzuqi Dahlan

KH. Marzuqi Dahlan

KH. Marzuqi Dahlan lahir tahun 1906 M, di Desa Banjarmlati, sebuah desa di bantaran barat Sungai Brantas, Kota Kediri. Beliau putra bungsu dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Di bawah pengawasan langsung kakeknya (KH. Sholeh Banjarmlati) Gus Zuqi kecil menerima pengajaran dasar-dasar Islam seperti aqidah, tajwid, fiqh ubudiyah, dll. Pernah satu waktu, sang ayah (Kyai Dahlan) meminta agar Gus Zuqi kembali ke kampung halaman (Pondok Pesantren Jampes) guna menuntut ilmu langsung di bawah asuhan ayah kandung sendiri. Gus Zuqi bersedia, namun beberapa saat kemudian Gus Zuqi kembali ke Banjarmlati.
Ketika Gus Zuqi beranjak muda, beliau pindah menuntut ilmu Di Lirboyo, di bawah asuhan KH. Abdul Karim yang merupakan paman Gus Zuqi. Disinilah kemampuan berpikir Gus Zuqi semakin terasah, sehingga dalam waktu yang singkat beliau dapat menyerap berbagai ilmu keagamaan. Usai dari di Lirboyo, Gus Zuqi meneruskan pengembaraan di pelbagai pondok pesantren diantaranya; Pondok Pesantren Tebu Ireng asuhan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, asuhan KH. Zainuddin, Pondok Pesantren Bendo Pare asuhan Kyai Khozin, cukup lama beliau mondok di Pare hingga berusia 20-an tahun. Selanjutnya beliau kembali ke kampung halaman untuk belajar langsung ke KH. Ihsan Al-Jampasy, sang kakak yang juga pengarang kitab Shirojut Tholibin. Sebuah kitab monumental dalam bidang tasawuf.
KH. Marzuqi Dahlan menikah dengan Nyai Maryam binti KH Abdul Karim dan berdomisilidi Lirboyo tahun 1936 M. Meski telah menikah, semangat beliau dalam mengaji tidak pernah luntur, hal ini merupakan salah satu amanat yang disampaikan KH Abdul Karim kepada beliau, sesaat usai aqad nikah berlangsung, hingga himmah beliau untuk tetap mendidik santri terus terjaga dan sangat istiqomah.
Pada tahun 1961 M, Nyai Maryam berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan beliau untuk selama-lamannya. Namun untuk menghapus kedukaan yang berlarut-larut, keluarga menikahkan KH. Marzuqi Dahlan dengan Nyai Qomariyah yang tak lain adalah adik bungsu Nyai Maryam. Sosok KH. Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja, hal ini terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewah dan perlente. Padahal saat itu beliau sudah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Ketika bepergian dan atau berziarah ke makam-makam Auila’ disekitar Kediri, KH Marzuqi Dahlan lebih sering bersepeda. Bukan hanya kendaraan, kediaman beliaupun terbilang sangat sederhana, yakni berdindingkan anyaman bambu, hingga pada tahun 1942 M barulah kediaman beliau berganti dengan tembok.
Pada Tahun 1973 M KH. Marzuqi Dahlan menunaikan Ibadah haji. Dua tahun setelah menunaikan ibadah haji, kondisi beliau mulai terganggu, sebab usia beliau memang sudah sepuh. Namun meski demikian, semangat beliau untuk memimipin Pesanten Lirboyo tetap terjaga, hingga pada bulan syawal pada tahun 1975, beliau jatuh sakit dan harus dirawat di RS. Bayangkara, Kediri. Dua minggu lamanya beliau dirawat. Karena tidak ada perubahan yang menggembirakan, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pulang KH. Marzuqi Dahlan ke kediaman beliau, hingga pada hari Senin Tanggal 18 Nopember 1975 M beliau dipanggil sang pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintainya. (al Fatihah)

BIOGRAFI KH. Abdul Karim

KH. Abdul Karim

KH. Abdul Karim lahir tahun 1856 M di desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Manab adalah nama kecil beliau dan merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melalang dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau berangkat bersama sang kakak (Kiai Aliman).
Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di desa Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setalah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu beliau melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya beliau nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, beliau kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu pesantren besar di pulau Madura, asuhan Ulama’ Kharismatik; Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.
Pada usia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian ilmu di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada akhirnya KH. Hasyim asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai Sholeh dari Banjarmlati Kediri, pada tahun1328 H/ 1908 M.
KH. Abdul Karim
KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo.
Kemudian pada tahun 1913 M, KH. Abdul karim mendirikan sebuah Masjid di tengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa taalum bagi santri.
Secara garis besar KH. Abdul karim adalah sosok yang sederhana dan bersahaja. Beliau gemar melakukan Riyadlah; mengolah jiwa atau Tirakat, sehingga seakan hari-hari beliau hanya berisi pengajian dan tirakat. Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya -sebelumnya beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920-an- kondisi kesehatan beliau sudah tidak memungkinkan, namun karena keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.
Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala beliau menderita sakit, beliau masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Akhirnya, pada tahun 1954, tepatnya hari senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH. Abdul Karim berpulang kerahmatullah, beliau dimakamkan di belakang masjid Lirboyo. (al Fatihah)

Memakai Celana di Bawah Lutut

Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.

Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ

Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.

Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.

Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.

Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.

Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.

KH Arwanie Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Membaca Shalawat untuk Nabi

Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi orang-orang NU, disamping amalan-amalan lain semacam itu. Ada shalawat “Nariyah”, ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah sekaligus ibadah.

Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah: Rasulullah bersabda: Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.

Salah satu shalawat yang sangat popular ialah “Shalawat Badar”. Hampir setiap warga NU, dari anak kecil sampai kakek dan nenek, dapat dipastikan melantunkan shalawat Badar. Bahkan saking populernya, orang bukan NU pun ikut hafal karena pagi, siang, malam, acara dimana dan kapan saja “Shalawat Badar” selalu dilantunkan bersama-sama.

Shalawat yang satu ini, “shalawat Nariyah”, tidak kalah populernya di kalangan warga NU. Khususnya bila menghadapi problem hidup yang sulit dipecahkan maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan persoalan pelik itu kepada Allah. Dan shalawat Nariyah adalah salah satu jalan mengadu kepada-Nya.

Salah satu shalawat lain yang mustajab ialah shalawat Tafrijiyah Qurtubiyah, yang disebut orang Maroko shalawat Nariyah karena jika mereka (umat Islam) mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak apa yang tidak disuka, mereka berkumpul dalam satu majelis untuk membaca shalawat Nariyah ini sebanyak 4444 kali, tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat bi idznillah. Shalawat ini juga oleh para ahli yang tahu rahasia alam.

Imam Dainuri memberikan komentarnya: Siapa membaca shalawat ini sehabis shalat (fardlu) 11 kali digunakan sebagai wiridan maka rejekinya tidak akan putus, disamping mendapatkan pangkat/kedudukan dan tingkatan orang kaya. (Khaziyat al-Asrar, hlm 179)

Simak sabda Rasulullah SAW berikut ini:

وَأخْرَجَ ابْنُ مُنْذَة عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنهُ أنّهُ قال قال َرسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: مَنْ صَلّى عَلَيَّ كُلّ يَوْمٍ مِئَة مَرّةٍ – وَفِيْ رِوَايَةٍ – مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي اليَوْمِ مِئَة مَرّةٍ قَضَى اللهُ لَهُ مِئَة حَجَّةٍ – سَبْعِيْنَ مِنْهَا في الأخِرَةِ وَثَلاثِيْنَ فِي الدُّنْيَا – إلى أنْ قال – وَرُوِيَ أن النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عليه وسلم قال : اكْثَرُوا مِنَ الصَّلاةِ عَلَيَّ فَإنّهَا تَحِلُّ اْلعَقْدَ وَتَفْرجُ الكُرَبَ – كَذَا فِيْ النزهَةِ

Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengijabahi 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.

Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan dan juga dibicarakan, amal-amal kalian disampaikan kepadaku; jika saya tahu amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat ‘ala an-Nabi).

Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya (istighfar) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti bermanfaat.

Ada lagi hadits lain. Rasulullah bersabda: Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku sehingga aku bisa menjawab salam itu. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah. Ada di kitab Imam an-Nawawi, dan sanadnya shahih)

KH Munawwir Abdul Fattah
Pengasuh Pesantren Krapyak, Yogyakarta

Dosen Ilmu Agama Islam Diminta Dorong Karakter Mahasiswa

Jakarta, NU Online
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Musliar Kasim, meminta para dosen ilmu agama khususnya yang tergabung dalam Asosisasi Dosen Pendidikan Agama Islam seluruh Indonesia (ADPISI), agar mampu mendorong mewujudkan karakter mahasiswa, sehingga tumbuh karakter yang baik dan akhlak mulia.
Wakil Mendikbud mengemukakan hal itu ketika berbicara dalam Kongres Nasional Pendidikan Agama Islam (KONASPAI) III ADPISI di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Rabu malam (16/11).
Menurut Musliar, pada dosen pendidikan ilmu agama khususnya Islam mampu memberikan masukan dalam wujudkan pendidikan karakter yang sesuai dengan nilai agama, etika, moral dan ideologi Pancasila kepada para mahasiswa termasuk sivitas akademika di kampusnya.
Dengan demikian, katanya, berbagai bentuk pergeseran moral yang terjadi di kalangan mahasiswa dapat dicegah dan dibendung dengan penguatan karakter yang kokoh melalui pendidikan agama dan pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam mata kuliah lain.
Musliar menyatakan keprihatinan atas sebagian para mahasiswa dan para siswa di Indonesia yang memiliki prilaku tidak sesuai karakter bangsa, seperti sering tawuran antara mahasiswa dalam satu universitas atau dengan universitas lain, melakukan aksi unjukrasa dengan bertindak anarkis serta masih ditemulkan tawauran antara pelajar  dan berbagai tindak kekerasan lain.
"Sikap sebagian siswa dan mahasiswa yang bertentangan dengan nilai moral, etika, agama dan ideologi Pancasila itu, antara lain disebabkan kurangnya pendidikan karakater dalam kegaiatan perkuliahan atau proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan," tuturnya.
Oleh karena itu, Kemdikbud telah menyusun modul program pembelajaran karakter yang nantinya diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran atau mata kuliah di lembaga pendidikan, sehingga para siswa dan mahasiswa, akan memiliki karakter bangsa yang kuat, seperti menjunjung tinggi nilai moral, etika, bertanggung jawab, mandiri, sportivitas, memiliki nasionalime dan patriotisme yang tinggi.


Redaktur  : Syaifullah Amin
Sumber    : Antara

KH. Abdullah Kafabihi Mahrus : “Carilah Kawan yang baik”

Sep 6th, 2011 | By Pondok Pesantren Lirboyo | Category: Dawuh Masyayikh

Dalam pergaulan, sering kali seseorang menganggap remeh etika-etika pergaulan yang dianjurkan dalam agama. Padahal etika itu dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari akibat buruk dari pergaulan itu sendiri. Seorang kawan sangat berpengaruh terhadap pola pikir, tingkah laku, dan bahkan keyakinan seseorang. Dalam sebuah syair arab kuno yang cukup masyhur dikatakan,
عَنْ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَأَبْصِرْ قَرِينَهُ # فَإِنَّ الْقَرِينَ بِالْمُقَارِنِ يَقْتَدِي
فَإِنْ كَانَ ذَا شَرٍّ فَجَنِّبْهُ سُرْعَةً # وَإِنْ كَانَ ذَا خَيْرٍ فَقَارِنْهُ تَهْتَدِي
Janganlah bertanya tentang (diri) seseorang (secara langsung, namun cukup) lihatlah siapa kawannya. Sesungguhnya seorang kawan senantiasa mengikuti kawannya. Bila sang kawan adalah orang yang bersifat buruk maka jauhilah segera. (Sebaliknya) jika ia bersifat baik maka jadilah kawannya, niscaya anda akan mendapatkan petunjuk.
Dalam hal ini nabi Saw. Mengatakan,
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِِ خَلِيْلِهِ
“Seseorang mengikuti keyakinan kawannya”
1. Tidak diragukan lagi akan pengaruh yang dibawa seorang kawan. Karena itu wejangan dari para ulama salaf sangat perlu diperhatikan. Di antara wejangan itu adalah;Berteman dengan orang yang baik fikirannya; hal ini agar kita dapat mengambil pilihan terbaik ketika menghadapi masalah. Berteman dengan orang yang bodoh (dalam arti tidak tahu diri, egois, dan mementingkan diri sendiri) hanya akan merusak tali kasih yang mempersatukan keduanya. Nabi mengatakan,
الْبَذَاءُ لُؤْمٌ ، وَصُحْبَةُ الْأَحْمَقِ شُؤْمٌ
“Berkata kotor adalah tercela, berkawan dengan orang yang tidak beres akalnya adalah kesialan”
2. Baik agamanya. Karena orang yang tidak baik agamanya hanya akan membawa kepada marabahaya, baik bahaya dalam urusan dunia maupun agama. Allah Azza Wa Jalla berfirman,
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
“jangan kau ikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan, dan mengikuti hawa nafsunya”
Ayat ini diturunkan Allah pada Nabi, agar nabi tidak mengikuti orang-orang kafir yang tidak mengindahkan ajakan dan ajaran agama Nabi. Berkawan dengan orang yang kurang baik agamanya, mungkin tidak menjadi masalah bagi orang yang kuat menahan diri dari pengaruh-pengaruh luar. Namun bagaimana dengan orang yang mudah terbawa arus.
3. terpuji perilaku dan akhlaknya. Berkawan dengan orang yang buruk akhlaknya hanya akan memancing permusuhan dan merusak akhlak baik yang sudah tertanam dalam diri. Sebagian ulama mengatakan,
مِنْ خَيْرِ الِاخْتِيَارِ صُحْبَةُ الْأَخْيَارِ ، وَمِنْ شَرِّ الِاخْتِيَارِ صُحْبَةُ الْأَشْرَارِ
“Berkawan dengan orang yang baik (akhlaknya) adalah pilihan yang baik, berkawan dengan orang yang buruk (akhlaknya) adalah pilihan yang buruk”
Melihat maraknya cara bergaul yang salah pada generasi muda kita, sudah sepatutnya kita kembali pada tatacara dan akhlak pergaulan yang dianjurkan oleh agama. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri, melainkan untuk melindungi masyarakat secara umum.
Maraknya pelanggaran larangan-larangan agama dalam pergaulan, seperti percampuran antar lawan jenis yang bukan mahram, konsumsi barang-barang haram, dan lain sebagainya yang seringkali memicu tindak kriminal, asusila, dan mungkar, hendaknya dilihat sebagai kritik dan ukuran bagi masyarakat kita, apakah sudah menjalankan aturan syariat atau belum.
Hendaknya setiap orang benar-benar memperhatikannya. Karena jika sebuah penyimpangan telah meluas dan menjadi kebiasaan di masyarakat, yang tertimpa musibah bukan hanya para pelakunya saja. Bahkan masyarakat yang membiarkan kemungkaran itu sendiri juga akan tertimpa. Dalam sebuah hadis dikatakan,
إِذَا خَفِيَتِ الْخَطِيئَةُ لَمْ تَضُرَّ إِلا صَاحِبَهَا، وَإِذَا ظَهَرَتْ فَلَمْ تُغَيَّرْ ضَرَّتِ الْعَامَّةَ
“Ketika kesalahan (kemungkaran) tersamar maka tidak akan berbahaya kecuali bagi pelakunya, dan ketika tampak kemudian tidak ada yang merubahnya maka akan berbahaya bagi banyak orang (sekitar yang tahu)” (HR. At-Thabrani {1010})
Generasi muda adalah tiang punggung umat di masa mendatang. Oleh karena itu hendaknya kita awasi, agar tidak mudah terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jangan sampai mereka benar-benar terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam dan membuat mereka putus asa. Sehingga dengan mudah mereka mengatakan, “sudah terlanjur”. Yang belum terjerumus mari kita jaga, dan yang sudah terjerumus ke dalam pergaulan yang salah mari kita sadarkan. Karena pepatah kuno mengatakan,
شُبَّانُ الْيَوْمِ رِجَالُ الغَدِ
“Pemuda saat ini adalah generasi (yang akan mengisi kelangsungan umat) di hari esok”
Semoga negeri kita diselamatkan dari yang demikian, dan dijadikan negeri yang makmur, bersih dari berbagai penyimpangan dan kemungkaran. Amin. (sumber : Majalah Misykat).